Cerita Pendek :->



“Keajaiban Langit”

            Aku termenung sendiri di sini, di kursi taman Rumah Sakit Sentosa. Dalam kesunyian, ku pandangi langit hari itu. Aku senang sekali memandang langit sejak kecil. Kau tahu mengapa? Ya, namaku sama dengannya, namaku langit. Langit siang itu mendung, gelap dan suram. Aneh, padahal kan ini siang? Tapi keadaan langit saat itu seakan tahu isi hatiku yang penuh dengan kegalauan. Tak kusadari aku terjun dalam lamunanku. Aku mengenang saat-saat yang tak terlupakan dalam hidupku. Saat yang berharga, yang menyadarkanku tentang arti kehidupan.
-------------------------------------------------------------------
            Di bawah pohon rindang itu aku termenung, melihat hasil ulangan matematika dan fisika dari Bu Erni dan Bu Ani tadi pagi. 100, angka di kertas itu. Mungkin kalian pasti heran, harusnya aku sudah lari keliling lapangan bali 12 menit 20 putaran atau menari chaiyya-chaiyya layaknya briptu norman di bazaar sekolah atau bahkan nyebur ke kolam ikan di taman anggrek padahal baru di renovasi. Tapi aku malah kesal dan muak akan semua ini. Aku malas pulang. Malas sekali. Ingin rasanya enyah dari dunia ini. Kehidupanku hanya dipenuhi oleh belajar dan belajar. Pergi di pagi buta pulang malam sehabis maghrib. Walaupun banyak teman berkata, aku sudah sempurna. Aku pintar, keluargaku hidup berkecukupan malah berlebihan, apa yang kuminta pasti dibelikan. Tapi tidak segampang itu kau tau kehidupanku. Aku tak peduli walaupun matahari terbit di sebelah barat ataupun Bisma, anggota sm*sh keseleo karena terlalu lincah saat menari. Aku bosan dengan tuntutan orang tuaku, apa ini semua tidak cukup bagi mereka? Aku hanya bisa menghembuskan nafas panjang menahan emosi ini. Tiba-tiba lamunanku dibuyarkan oleh sms dari Pak Jojo, supirku yang baik dan ramah sekali. “Den, mau dijemput kapan?” ucapnya di sms itu. Entah mengapa hari itu aku malas untuk pulang dengan Pak Jojo. Aku kan sudah besar, kenapa harus dijemput? Akhirnya aku pun membalas “Pak, pulang aja ya. Aku pulang naik angkot aja. Sip :-*” sengaja ku tambahkan emot itu agar Pak Jojo luluh dengan kata-kataku, oke itu agak sedikit berlebihan memang.
            Akhirnya aku berjalan ke pinggir jalan depan sekolah. Menunggu angkot berwarna hijau bertuliskan kalapa. Sesaat aku terdiam saat melihat wajah seorang gadis yang melintas di depanku menggunakan sepedahnya yang tampak sudah lama ia pakai. Ya, tak salah lagi. Itu Pelangi, teman sekelasku. Dia gadis yang cerdas dan sangat baik dan ramah kepada semua teman. Anaknya lucu dan manis. Dia sangat multitalented sebenenarnya, suaranya merdu. Ia juga anak yang sederhana dan berasal dari keluarga sederhana. Jujur saya, aku menyukainya sejak pertama berkenalan. “Tin tin!!!!” suara klakson mobil membuyarkan lamunanku. Tak kusadari aku sedang berada di tengah-tengah jalan raya, mengamati Pelangi dari belakang. “Kalo jalan hati-hati dek!” ucap supir angkot yang jalannya terhalangi olehku. “Iya pak, maaf ya.” ucapku membalas omelan pak supir. “Fiuh, untung saja tidak tertabrak.”
-------------------------------------------------------------------
            Malam itu aku menyantap makan malam Bi Ijah dengan penuh senyum dan semangat, seperti lagu sm*sh saja. Masakannya memang “udah paling dewa coy” kalo kata anak zaman sekarang. Bumbunya meresap sampai ke dalam daging, rasanya mak nyos Bi Ijah sudah seperti master chef saja. Setelah makan, aku memainkan sebuah bola sambil menuju kamarku di lantai atas. Aku bebas bermain apa saja disini. Di rumah seperti istana yang luasnya seperti lapangan bola tapi sepi seperti kuburan malam hari, sunyi. Aku seorang anak satu-satunya di keluarga ini. Aku pun asik memainkan bola kesayanganku. Sampai bola itu jatuh dan berguling dan jatuh ke arah kamar ibu dan ayah. Aku pun bergegas mengambil bola itu. Tapi aku mendengar sesuatu, berisik, ribut sekali. Aku tak suka. Ku datangi sumber suara itu.
            “Dari mana saja kamu? Jam segini baru pulang.” “Aku dari kantor. Aku sibuk.” “Dari kantor? Kerjaan apa sampai larut malam begini? Kamu pasti berbohong. Aku tahu kamu pasti berduaan dengan sekertarismu kan.” “Sekertaris apa? Kamu yang sibuk dengan teman-temanmu. Kamu bahkan tidak pernah memperhatikanku dan Langit.” “Apa katamu? Jadi kamu menyalahkanku? Kamu yang sibuk dengan pekerjaanmu. Yang kau pikirkan hanya uang dan uang. Kamu tidak peduli dengan keluarga kita. Karena kamu, Langit sudah bisa membantahku. Kamu…” “SUDAH! Aku capek mendengar omelanmu. Aku capek mah, kamu nggak tahu gimana susahnya cari uang itu!” “ Aku nggak peduli.” Plak! Suara tamparan terdengar sampai ke luar pintu yang terdengar olehku. Pasti ayah menampar ibu lagi. “Sudah cukup semua ini, hentikan! Aku tak mau mendengarnya!” bisikku dalam hati. Lalu aku berlari masuk kamar dan menguncinya rapat-rapat. Kesal, ingin rasanya aku berteriak menangis. Tapi apakah ini yang dilakukan seorang anak remaja laki-laki yang sepertiku?
-------------------------------------------------------------------
            Hari berlalu begitu cepat. Pusing, aku sudah muak dan penat dengan rutinitasku ini. Aku tak tahan di rumah karena semakin lama hubungan orangtuaku semakin tak jelas. Setiap hari kudengar cacian dan makian. Tidak saling cinta, tidak saling sayang. Buat apa? Cerai saja sekalian. Rasanya ingin enyah dari dunia ini.
            “Hey Langit!” teriak Zaki, teman baikku sejak kecil. “Hey.” jawabku singkat. “Kenapa coy? Lagi galau? Sama si Pelangi ya? Hahahaha” godanya. “Nggak lah, masih jaman galau.” “Masih aja sih coy. Terus kenapa mukamu cemberut gitu? Mending kita main futsal yuk! Lawan anak kelas sebelah.” “Nggak ah, aku lagi pusing. Aku capek, aku nggak tertarik. Dah” aku meleos pergi meninggalkan Zaki sendiri. “Eh, aku malah ditinggalin. Kenapa sih anakitu?” ucap Zaki kesal.
            Hari ini aku minta Pak Jojo supaya tak menjemputku lagi. Tapi kali ini agak beda, hari sudah sore menjelang malam. Jalanan sepi, sunyi. Aku berjalan sendiri menuju pinggir jalan, menunggu angkot yang datang.  Angkot tak jua datang. Tiba-tiba segerombolan anak SMA menghampiriku. Sepertinya mereka seniorku atau senior SMA sebelah. Yang pasti aku tak mengenal mereka. Lalu mereka mengerubuniku. “Eh, sendiri aja. Belum pulang de? Kenapa? Belum dijemput sama mama ya?” “Hahahahaha” mereka pun tertawa seakan melihat Abduh menggaring. “Gak gaul banget sih de. Bajunya dimasukkin, rambut? Rapih. Pasti kerjaannya belajar terus. Liat aja kepalanya gede banget coy.” “Anak mami. Hahaha” mereka pun lanjut tertawa puas, guling-guling mungkin. Sangat berlebihan. Aku hanya membisu, diam 10 pangkat 3 kata. “Sini de.” Ucap seseorang bertubuh besar, tinggi, dan brewokan. Sepertinya ia pemimpin geng ini. Dia pun menarikku ke tempat yang sepi. “Ini.” ucapnya sambil menyodorkanku sebungkus permen bermerk “Meuntas”, ada-ada saja.
            “Apa ini?” tanyaku bingung. “Ini permen yang bisa membuatmu bahagia. Kamu akan ketagihan setelah mencobanya. Aku tau kau punya masalah kan? Kau bisa menyelesaikan masalah itu dengan ini. Aku berikan padamu, gratis.” jelasnya panjang lebar. Beberapa menit aku diam, mencerna kata-kata itu. “Hey! Kau boleh pulang. Kamu, boleh bergabung dengan kita, kapan pun yang kau mau.”, katanya membuyarkan pikiranku. Aku pun berjalan cepat meninggalkan geng itu. Aku baru menyadari, mereka adalah geng bajigur, kelompok yang paling disegani di Bandung mengalahi XTC, brigez dan geng terkenal di Bandung. Hah, hari yang aneh.
-------------------------------------------------------------------
            Ku kunci pintu kamarku, memastikan tak ada seorang pun yang dapat masuk kecuali semut. Aku tak bisa berhenti memikirkan kejadian seminggu yang lalu. Akhirnya aku membuka bungkus permen itu. Perlahan tapi pasti, ku coba untuk merasakannya. Pertama ku rasakan sakit yang begitu perih. Tetapi lama kelamaan, kenikmatan itu terasa. Aku ingin lagi, lagi dan lagi.
-------------------------------------------------------------------
            “Mah, Langit minta uang. Satu juta. Sekarang juga.” “Satu juta lagi? Kemarin kamu udah ngabisin uang mama berapa ngit. Buat apa?” “Ah banyak alesan! Cepetan kasih aku uang satu juta sekarang juga.” “Langit, bisa-bisa uang mama habis. Kamu ini…” “Ah, bawel! Aku ambil aja sendiri uangnya!” Aku berlari ke kamar orang tuaku dan ku ambil uang itu untuk kenikmatan. Aku tak kuat. Aku tak tahan.
            Aku  menghampiri Bang Rama, ketua geng bajigur. Dia sudah tau apa yang kumau. Dia mengantarkanku ke halaman belakang sekolah dimana teman-teman lain sudah menunggu. Kami berpesta, kami senang. Aku ketagihan, lagi dan lagi. Kenikmatan itu terhenti ketika tiba-tiba ada yang berteriak “POLISI!!!!!!”. Semua anak berlalri termasuk aku. Aku sebenarnya sudah tak bertenaga lagi, tubuhku lemas, penuh dengan keringat dingin. Tapi kupaksakan kakiku terus berlari, tak peduli apapun yang terjadi. Dan tiba-tiba aku menabrak seseorang dan aku jatuh. Aku tak bisa melihat apapun, gelap, hitam.
-------------------------------------------------------------------
            “Langit hilang pah. Langit dimana?!” “Papah juga nggak tau. Kamu gimana sih, ngurus anak satu saja nggak becus.” “Jadi kamu nyalahin aku lagi? Kamu juga nggak peduli sama keluargamu sendiri. Kamu bikin langit jadi seperti ini. Kamu…..” “Kring-kring” suara telepon rumah memecahkan pertengkaran kali itu. Pak Fadhil pun mengangkatnya “Halo?” “Halo, selamat malam pak. Apa benar ini dengan Bapak Fadhil?” “Benar pak, ada apa ya?” “Saya dari Polwiltabes Bandung. Kami ingin menyampaikan bahwa anak bapak…..” Pak Fadhil menjatuhkan teleponnya dan hanya terpaku diam dengan pandangan kosong.
-------------------------------------------------------------------
            “Langit? Langit? Bangun nak, ini mama.” “Mama?” aku memandang sosok wanita di depanku. Ternyata aku terbaring di sebuah tempat tidur. Perlahan kubuka mataku. Ku lihat sekelilingku, ada orangtua ku. Dan…. tunggu sebentar, pelangi? Ya, aku melihatnya di luar kamar ini. Tapi aku tak yakin sepenuhnya dia disini, untuk apa?
            “Langit, papa nggak percaya. Kenapa kamu bisa melakukan semua ini? Papa awalnya benar-benar tak percaya bahwa kamu ini pemakai narkoba. Papa tidak habis pikir.” “Mama juga, ini semua salah papa. Papa yang tidak pernah memperhatikan Langit.” “Apa katamu? Apa pernah kamu memperhatikan langit? Terus saja aku yang disalahkan.” “Aku tidak menyalahkan, tapi itu semua fakta.” “CUKUP!” teriakanku membuat mereka membisu. “Jujur, aku capek pah, mah. Aku nggak tahan dengan semua ini. Tiap hari aku belajar dari pagi hingga larut malam demi nilai-nilaiku yang tetap bagus. Demi kalian yang selalu menuntutku seperti itu. Di rumah, selalu sepi. Tak ada yang memperhatikanku kecuali Bi Ijah dan Pak Jojo. Seakan mereka orang tuaku. Bukan kalian. Apa papah dan mamah tau? Aku juga butuh kasih sayang. Aku ingin seperti teman-temanku yang hidup bahagia dengan keluarganya. Mereka berlibur, bermain bersama. Merka tak pernah mendengar suara ribut-ribut saat malam hari ataupun suara tamparan yang keras. Aku seperti ini hanya karena aku nggak tahan. Aku ingin keluar dari semua masalah ini.”. Tak kusadari, air mataku keluar begitu saja. Air mata yang membuat mereka makin membisu dan kehilangan kata-kata.
“Mama tidak menyangka keadaan itu begitu sulit untukmu. Maafkan segala kesalahan mama, Langit.” ucap mama yang entah mengapa terdengar begitu tulus dari hati seorang ibu.  “Maafkan juga kekhilafan papamu ini nak. Papa sadar, ini semua salah papa. Papa belum bisa menjadi imam yang baik bagi keluarga kita. Mah, maafkan papa juga. Papa salah.” kata papa seraya memeluk mama dan aku. “Iya pa, maafkan mama juga.” Balas mama. Di sana, di kamar yang hanya berukuran kecil, kami bertiga berpelukan untuk pertama kalinya setelah beberapa tahun lalu. Kami menangis terharu. Rasanya, tak ingin kulepaskan pelukan ini, pelukan hangat yang ku rindukan selama ini.
-------------------------------------------------------------------
Selama aku menjalani masa rehabilitasi. Pelangi selalu ada menemaniku. Dia tidak malu disaat teman-teman lainnya menjauhiku. Terkadang Zaki juga mengunjungiku. Terakhir, aku meminta maaf kepadanya untuk sikapku yang aneh belakangan ini. Dia juga mendukungku untuk sembuh 100% dan bangkit menjadi Langit yang dulu begitu juga Pelangi.
Sebulan lebih sudah berlalu. Kejadian suram itu sudah berakhir. Masa-masa kelam berganti langit yang cerah. Saat ini, aku bersama Pelangi duduk di hamparan rumput hijau di dekat danau. Kami berdua memandang langit siang itu. “Pelangi. Aku tak menyangka bahkan masih tak percaya aku bisa ada disampingku saat ini. Melihat langit bersamamu.” “Aku juga. Tuhan memang mempunyai jalan yang tak perah aku pikirkan sebelumnya.” “Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih padamu. Terima kasih untuk semuanya.” “Aku juga. Sama-sama ko. Hey! Lihat! Ada pelangi!” “Wah, benar. Pelanginya bagus, cantik. Sepertimu.” “Langit, kamu menggombal” “Aku berkata jujur ko. Kamu harus janji untuk tetap bersamaku, selamanya. Apapun yang terjadi.” Tiba-tiba saja hening. Saat kulihat ke sebelah, aku kaget setengah mati. Pelangi jatuh pingsan, tepat disampingku.
-------------------------------------------------------------------
“Langit. Cepat nak, dokter memanggil.” Ucap mamah seraya menarikku menuju ruangan itu. Aku bergegas masuk ke kamar pasien 2013. Kulihat disana Pelangi terbaring lemas. Aku berdiri disampingnya. Disamping gadis yang mengubah hidupku karena sifatnya yang berbeda dengan gadis lain. Gadis ini, dia sekarang berjuang melawan penyakit kankernya. Tapi dia harus bertahan karena aku ingin tetap memandang senyumannya. Ku genggam tangannya dan tak terasa air mataku mengalir. “Please, buka matamu pelangi.” Bisikku dalam hati. “Aku masih disini”. Suara itu, suara gadis itu, suara Pelangi. Aku tersenyum lebar memandangi tubuhnya yang masih lemas seraya kutatap langit siang itu. Langit kelam itu berubah menjadi cerah, hujan sudah reda. Awan mendung itu digantikkan oleh Pelangi yang sangat cantik. Sama seperti gadis disampingku saat ini.

SELESAI :) emang agak lebe dan bikinnya penuh perjuangan tapi udah paling random
Yaudahlahya(?)


             
 

(c)2009 Fe Cl Ar. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger